Program Affiliate Indowebmaker Program Affiliate Indowebmaker

Senin, 15 Juni 2009

OPINI

JERAT SURAT ELEKTRONIK

Baru-baru ini Indonesia digemparkan oleh seorang ibu dari dua anak, Prita Mulyasari (32), ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang di Lembaga Permasyarakatan Perempuan Tangerang sejak 13 Mei 2009. Prita dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Tangerang. Atas tuduhan pencemaran nama baik melalui surat elektronik (e-mail) yang tersebar luas di internet. E-mail itu berisi keluh kesah Prita atas layanan RS Omni.

Dalam keluhan yang ditulis lewat e-mail, Prita merasa dipaksa menjalani rawat inap saat memeriksakan kesehatannya pada awal Agustus 2008 di RS Omni. Kala itu dokter jaga mendiagnosis Prita terkena demam berdarah karena kadar trombositnya hanya 27 ribu. Ia juga mengaku sudah meminta hasil laboratorium, tapi ditolak rumah sakit.
Keesokan harinya, dokter rawat inap mendapati kadar trombosit Prita mencapai 181 ribu alias normal. Lima hari kemudian Prita memaksa minta pulang.
Sepanjang yang tercatat, inilah untuk kedua kalinya sebuah tulisan di Internet menyeret penulisnya ke meja hijau. Kasus pertama dialami Nurliswandi Piliang, seorang jurnalis, yang dituduh mencemarkan nama baik seorang anggota parlemen. Seperti Prita, ia dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Juru Bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Chryshnanda mengatakan, penyidik polisi hanya menjerat Prita dengan pasal pencemaran nama baik di KUHP. Munculnya Pasal 27 Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik setelah berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Banten.
Pengenaan Pasal 27 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada kasus Prita Mulyasari dianggap Departemen Komunikasi dan Informasi terlalu berlebihan. Jadi seharusnya aparat hukum tidak mengenakan Pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari. 
Sejak diundangkan pada tahun lalu, undang-undang itu telah mendapat kecaman dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Beberapa aturan, termasuk pasal 27 tentang pencemaran nama baik, berpotensi mengancam kebebasan berpendapat. Pasal ini dapat dikategorikan sebagai pasal karet, yang penerapannya bisa digunakan melindungi kekuasaan politik atau pemilik modal kuat.
Penegak hukum seharusnya lebih berhati-hati dalam menerapkan pasal kontroversial itu. Pihak rumah sakit jelas memiliki hak mengadu. Tapi bukankah mereka telah menggunakan haknya untuk menjelaskan hal itu di media yang sama? Bukankah pembaca milis tersebut telah mendapat informasi yang seimbang, baik dari Prita maupun pihak rumah sakit?
Sebagai konsumen, Prita jelas dalam posisi yang lemah. Inilah yang seharusnya dilindungi. Itu sebabnya, akan lebih adil jika kasus ini ditangani dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Aneh jika di negara demokratis ini orang yang sekadar menyuarakan keluhan dijebloskan ke penjara. Sebab, konstitusi jelas menjamin orang menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar