Program Affiliate Indowebmaker Program Affiliate Indowebmaker

Senin, 29 Juni 2009

AS dan Demokratisasi Arab

AS dan Demokratisasi Arab 

20 Juni 2005 in Artikel Opini, Duta Masyarakat

Duta Masyarakat, 20 Juni 2005

Oleh A Fatih Syuhud

Amerika yang buruk di Vietnam menjadi lebih buruk di Irak. Bukanlah kebiadaban My Lai (Vietnam) yang mendefinisi imej buruk AS dewasa ini tetapi sadisme Abu Ghuraib. Namun demikian, versi kekejaman ini kemungkinan belum mencapai titik nadir. Titik nadir itu akan terlihat ketika pemerintah Bush, yang terdiri dari neokonservatif AS dan Israel, menyerang instalasi nuklir Iran, sebuah kemungkinan yang sudah disinggung Wapres Dick Cheney. Ia akan menjadi sebuah aksi yang kemungkinan bahkan akan membuat Tony Blair sekalipun merasa tidak nyaman.

Tetapi, akankah usaha “agung” AS-Israel untuk mengeliminasi WMD (weapons of mass destruction – senjata pemusnah masal) dan menabur demokrasi guna memenuhi mimpi mereka membentuk sebuah imperium Amerika itu berhasil? Atau, akankah hal ini menandai awal dari akhir status adi daya AS karena serbuan bom pada Iran akan memicu kemarahan pasukan etnik dan agama luar biasa dan tak terkontrol?

Seperti diketahui, sejak runtuhnya Uni Soviet, neokonservatif AS percaya bahwa telah tiba waktunya untuk menaklukkan dunia. Sebagai pembuka, mereka mulai dengan mempermainkan PBB dan mengacuhkan seluruh traktat internasional – dalam soal rudal balistik, global warming, perang kuman, ranjau, pengadilan kriminal internasional, konvensi Jenewa, dan lain-lain.Akan tetapi, pelanggaran pada Konvensi Jenewa yang terbukti akan menjadi blunder berat AS. Begitu neokon memperkenalkan istilah “enemy combatants (petempur lawan),” tidak ada lagi aral yang menghambat militer dan interogator AS melakukan apa yang mereka suka. Dari sinilah awal mula terjadinya kekejaman di penjara Abu Ghuraib. Satu hal yang tidak disadari kalangan penyiksa itu adalah bahwa abad ke-21 ini jauh lebih terintegrasi karena kekuatan media dibanding pada era kolonialisme sebelumnya.

Seluruh imperium dibangun di atas kebrutalan. Namun demikian, barbarisme periode-periode sebelumnya umumnya tidak tampak. Hanya ketika insiden pembunuhan masal besar muncul ke permukaan, maka imperium berusaha menghentikan api kemarahan. Sedang insiden kecil secara rutin disembunyikan. Seperti yang dikatakan penulis biografi Curzon, David Gilmour, “ketika pribumi disiksa atau terkadang dibunuh oleh tentara mabuk, pelakunya hampir selalu mendapat hukuman ringan atau bahkan dibebaskan.”

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya barbarisme dan pembunuhan masal terjadi di abad ini. Bahkan, Jenderal Dyer yang terkenal bengis pun akan menyadari konsekuensi fatal pada imperium Inggris apabila ada kemungkinan pemandangan tragis tertangkap kamera. Tetapi, sekalipun pembunuhan masal terjadi, imperium tidak akan dapat bertahan lebih dari tiga dekade, seperti yang sudah terjadi. Kegoncangan dan horor di seluruh dunia akan sangat besar. Salah satu nilai positif komunikasi audio-visual era modern adalah bahwa penyiksaan dan penindasan atas suatu negara yang dijajah tidak dapat bertahan lama.

Bahkan sejumlah kelompok gerilyawan Irak, yang salah satunya adalah Al Qaidah, bisa mendapat simpati karena melakukan perlawanan atas invasi AS di Irak. Mereka memiliki satu tujuan seperti yang dilakukan Vietkong tiga dekade lalu: bahwa negara adi daya berkekuatan nuklir sekalipun tidak akan bisa mengontrol urusan negara lain. Memang, milisi Irak atau kalangan komunis Vietnam bukanlah sekelompok orang-orang suci. Keduanya mewakili kekuatan totalitarian. Tetapi, mereka setidaknya bertempur di negara mereka sendiri atau di sebuah negeri di kawasan mereka melawan pasukan asing yang datang dari negara berjarak ribuan mil.

Sebelum sejumlah taktik gertakan yang dialamatkan ke Iran (kendati Irak masih tetap kacau) memicu sebuah “kekacauan diplomatik,” seperti peringatan Wapres Dick Cheney, AS mesti ingat satu hal bahwa pada puncak arogansinya pasca-akhir Perang Dingin, Washington pernah sesumbar bahwa AS mampu melakukan dua peperangan sekaligus. Ada juga klaim bahwa satelit AS memiliki kemampuan melihat seluruh dataran bumi sehingga mereka dapat membaca nomor plat mobil. Anehnya, AS tidak dapat menemukan Usamah bin Ladin dan pasukan Al Qaidah-nya yang melarikan diri ke Pakistan.

Alih-alih dapat melakukan dua peperangan sekaligus, AS malah tampak tidak mampu menyelesaikan peperangan dengan sebuah negara yang tidak memiliki WMD. AS juga tidak berani memerangi negara yang memiliki WMD (nuklir) – Korea Utara. Kesalahbacaan kemampuan diri dan sikap barbar pada tawanan bukanlah satu-satunya alasan buruknya citra AS.

Barbarisme ada di mana-mana, seperti di Rwanda dan Chechnya. Namun, walaupun tragis, kedua kasus ini merupakan konflik lokal, bukanlah akibat dari pembangunan imperium (walaupun pertempuran di Chechnya ada sedikit kemiripan). Selain itu, apabila insiden semacam itu cenderung tidak terkontrol lagi, maka komunitas internasional akan turun tangan seperti di Kosovo, atau meminta maaf kemudian hari karena tidak intervensi seperti dalam kasus Rwanda.

Terlanjur basah di Irak, AS tidak dapat keluar, karena kalau mundur tidak hanya hal itu akan membuka kembali luka lama kekalahannya di Vietnam, tetapi juga akan membuat Israel kuatir. Israel sangat berkepentingan melihat AS menaklukkan dunia, yang akan memungkinkannya memulai suatu “solusi final” dari “masalah” Palestina, dengan berpura-pura mundur dari Jalur Gaza sambil menyatakan tetap berhak menyerang balik apabila Tel Aviv curiga bahwa “teroris” Palestina masih mengendap-endap di sana, dan memecah belah Tepi Barat menjadi jalur-jalur lahan terpisah di tengah perkampungan luas Yahudi.

Sebagai bagian dari rencana itu, Ariel Sharon memberi AS sebuah peta identifikasi instalasi nuklir Iran, dengan isyarat implisit bahwa AS hendaknya mengebom instalasi itu sebagaimana Israel mengebom reaktor nuklir Irak yang mendapat anggukan kalangan neokon. Kekacauan di Irak telah merusak rencana itu.

Namun demikian, beragam kesulitan di Irak telah membuat AS (dan Israel) sedikit menahan diri karena sebuah adi daya tidak ingin dilihat terjebak dalam pusaran lumpur dan tampak bersusah payah melawan musuh-musuhnya dalam apa yang disebut sebagai poros setan. Masalahnya, semakin kita mencoba lepas dari pusaran lumpur, semakin dalam kita tenggelam.[]

*Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India

artikel ini diambil dari www.fatihsyuhud.com sebagai sumber pengambilan. Terima kasih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar