Program Affiliate Indowebmaker Program Affiliate Indowebmaker

Selasa, 30 Juni 2009

WASPADA Online 06 Sep 04
Oleh A Fatih Syuhud *

Pesan dari Kovensi Partai Demokrat di Boston bulan lalu sangat jelas. Demokrat Amerika murni tidak lagi eksis. Capres John Kerry mencoba sebisanya bersikap seperti Republikan baru. Mengatasi soal Irak dengan tegang dan detail. Kita akan berperang di Irak dengan lebih baik.

Perilaku Partai Demokrat tidak mengejutkan – kalangan konservatif dan liberal memiliki asumsi yang sama. Mereka yang membenci George Bush, menyukai Michael Moore dan terperanjat menyaksikan skandal pelecehan di penjara Abu Ghuraib juga percaya bahwa walaupun mungkin salah menginvasi Irak, “perang ide” jelas sedang terjadi antara Barat yang “beradab” dan peradaban “lain” (Islam di antaranya) yang
terbelakang.
Pertama dipromosikan oleh neokonservatif setelah 11/9, teori perang ide menyatakan bahwa Barat bertempur melawan ortodoksi abad pertengahan, keimanan buta dan fanatisme agama. Pertempuran ini berdasarkan logika, pemisahan sekuler antara Gereja dan Negara, demokrasi, kebebasan dan kehidupan modern dua atau tiga ratus tahun
lalu. Islam dan masyarakat oriental lain (India dan China) belum bertempur dengan peradaban dari dalam; mereka belum menciptakan seorang Voltaire, Diderot atau Rousseau.

Dilema yang terjadi memang ada – ia menyangkut bagian besar pemikiran populasi Barat dan bahkan kalangan intelektual modernis sekuler Timur. Kelompok ini lupa satu poin penting: peradaban-peradaban Timur tidak pernah mengalami kehidupan seperti yang terjadi pada agama Kristen abad pertengahan. Yakni, pemberontakan kalangan puritan
melawan kepausan (papacy) dan kalangan rasionalis melawan purist yang menciptakan perubahan revolusioner di Eropa dan Amerika Utara. Kristen abad pertengahan bagaikan pasar takhayul dan dekadensi di mana hanya ada sedikit ruang bagi terjadinya inovasi dari dalam.

Sebaliknya, Islam memiliki sistem ijtihad (pemikiran independen). India dan China kuno juga memiliki sistem filosofi rasional dan perilaku sosial dalam tubuh keyakinan agama. Lagi pula, pergulatan antara ortodoksi dan inovasi progresif adalah tema yang konstan. Islam memiliki Muktazilah (rasionalis) pada abad ke-10. Empirium
Islam menciptakan banyak saintis, sarjana dan filosof seperti Ibnu Sina (980-1037), Ibnu Rushdi (1126-1198), Al Farabi (870-950) dan Al Kindi. Dikenal sebagai Avicenna di Barat, Ibnu Sina menjadi peletak dasar kedokteran modern. Ibnu Rushdi menemukan kembali mutiara Plato dan Aristotle; Al Kindi dan Al Farabi membuat terobosan baru di
bidang hidrolik dan menemukan simfoni, tonggak dasar musik klasik barat.

Keempat sarjana ini hanya mewakili spektrum kecil kalangan intelektual yang menciptakan kebangkitan dan pencerahan Islam. Masyarakat barat waktu itu masih barbar, penuh takhayul dan fanatik. Kebangkitan Islam menjadi peletak dasar kebangkitan Barat – hal yang diakui oleh Dante, bapak kebangkitan barat.

Setiap orang tahu bahwa sains modern berkembang melalui konsep helio-sentrik alam. Seandainya Galileo tidak menentang ide geosentrik alamnya Kristen, niscaya Barat masih berkutat dengan anggapan absurd bahwa matahari berputar mengitari bumi. Tetapi apakah Galileo helio-sentris pertama? “Bumi berotasi di porosnya (QS 27:48); bumi berotasi mengelilingi matahari (QS 7:54). Kutipan ayat Quran ini mendahului
teori Galileo delapan ratus tahun. Quran juga menyebutkan: “Langit itu melebar (QS 51:47)”. Sejumlah gambar yang diambil oleh Edwin Hubble di observatorium Mount Wilson pada 1929 menunjukkan terjadinya pelebaran alam, yang mengarah pada teori Bing Bang. Quran mengantisipasi hal ini 14 abad lalu. Tidak sebagaimana Quran, Injil
melawan interpretasi sekuler. Oleh karena itu, kalangan rasionalis Barat harus memutuskan diri dari agama. Kalangan liberal barat kontemporer mendesak muslim moderat untuk melakukan hal yang sama.

Tetapi mengapa mesti memecah agama sedangkan Islam tidak seperti Kristen dan justru mendorong penggunaan akal? Begitu pula, India Brahma, bahkan sebelum Islam, sudah mengenal bahw alam bersifat helio-sentrik. Kalangan avonturir Arab dan Iran menyaring pengetahuan yang pada dasarnya didapat dari India, Cina dan peradaban pagan barat klasik. Berbeda dengan Barat, orang Arab dan Iran tidak pernah
menyembunyikan sumber-sumber asal mereka. Aljabar (algebra) disebut Al Hind (India) dan resep Arab disebut pengobatan Yunani. Selama era abad pertengahan adalah Bhava Misra yang mengajukan teori sirkulasi darah, jauh sebelum William Harvey. Ide demokratik dalam bentuk yang kita kenal sekarang sebenarnya diekspresikan pertama kali oleh Kaisar Islam India dalam karyanya Sulh-I-Kul (damai dan persaudaraan untuk
semua). Ide persamaan sosial, kebebasan individual dan revolusi petani semuanya pernah dibahas dalam bahasa lokal oleh reformis sosial India semacam Shah Waliullah, Pandit Jagannath dan lain-lain.

Permainan yang dimainkan oleh Barat adalah untuk menolak Timur dari sains dan rasionalitasnya sendiri. Ia juga semakin terlibat dalam menciptakan fundamentalisme Islam modern dan berbagai bentuk fasisme lain, yang membuat Timur terus tak peduli pada masa lalu dan kontemporernya. Kelompok konservatif Barat sebenarnya ingin
membangkitkan kembali fanatisme Kristen yang “tercerahkan” ke Timur. Apabila George Bush hendak memerangi tirani dan praduga di Timur Tengah, megnapa pasukan AS di Irak dipaksa membawa Injil dan bukan karya-karya Muktazilah, Ibnu sina atau bahkan karya rasionalis semacam Benjamin Franklin atau Thomas Paine?

Saat ini, modernis Timur yang setengah jadi muncul sebagai tokoh pro-Barat. Kekuatan anti-Barat, sebagai tanggapan, menggunakan fanatisme buta. Skenario yang akan terjadi sungguh menakutkan. Apabila Barat tidak menggunakan jalan dan cara lokal menuju pencerahan Asia dan Timur, maka yang akan terjadi adalah kemenangan barbarisme baik di Timur maupun di Barat.

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University,
India.
tulisan ini berasal dari www.fatihsyuhud.com

Benturan Peradaban dan Kontra Terorisme

WASPADA Online 21 Apr 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Apabila dunia tidak sedang melaju menuju benturan peradaban (clash of civilizations), maka sedikitnya telah terjadi pengkaburan distingsi antara gereja dan negara di AS dan mendorong umat Islam untuk mempercayai keunggulan Yahudi Israel di dunia, yang sangat merugikan Islam.

Ada dua fenomena yang mengarah pada asumsi di atas yang terwakili oleh jenderal bintang tiga AS Letjen William G. Boykin dan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

Letjen William G. Boykin, seorang pejabat penting di departemen pertahanan AS, mendapat restu untuk memproklamirkan, sering dalam seragam militer, di sejumlah gereja Kristen bahwa musuh riil AS bukanlah Osama bin Laden tetapi Setan.

Baru-baru ini, ia mencontohkan keyakinannya dengan merujuk pada seorang pejuang Muslim Somalia dengan menyatakan: “Tuhanku lebih besar dari Tuhannya. Aku tahu bahwa Tuhanku adalah Tuhan yang riil, sedang Tuhannya hanyalah patung”. Barangkali sang jenderal berpikir tidak ada salahnya menyatakan hal-hal provokatif semacam itu di era Presiden George Bush, yang sering menggambarkan dunia sebagai sebuah medan peperangan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan awalnya Bush menggambarkan “perang melawan teror”-nya sebagai perang salib.

Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld menolak untuk mengecam pernyataan-pertanyaan sang jenderal, yang telah dibujuk supaya minta maaf. “Aku bukanlah seorang fanatik juga bukan seorang ekstrimis,” ujarnya.

Tetapi seorang jurubicara Americans United for Separation of Church and State mengatakan, “Seseorang yang menilai tindakan kebijakan AS sebagai perang agama Kristen hendaknya tidak membuat kebijakan apapun.”

Di sisi dunia yang lain, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berpidato di pertemuan puncak Organisasi Konferensi Islam (OKI). Ia menyatakan: “Selama lebih dari setengah abad kita telah berjuang untuk Palestina. Apa yang telah kita capai? Tidak ada.” Ia menyerukan umat Islam untuk berpikir, bukan hanya marah dan marah. Dan mengajak umat Islam untuk meniru langkah Yahudi: “Orang Eropa membunuh enam juta Yahudi dari total jumlah Yahudi yang berjumlah 12 juta, tetapi saat ini Yahudi menguasai dunia. Mereka dapat mengatur bangsa lain untuk berperang dan mati demi mereka… Kita tidak pernah menghargai individu Muslim yang berpikir. Yahudi dapat bertahan dari pembunuhan massal selama 2000 tahun bukan dengan membalas dendam tetapi dengan berpikir. Mereka dapat mengontrol negara-negara yang paling kuat dan mereka, komunitas kecil ini, menjadi sebuah kekuatan dunia.”

Pesan yang ingin disampaikan Mahathir Mohamad jelas: Menjawab perlakuan Israel di tanah pendudukan Palestina dan di Israel bukanlah dengan bom bunuh diri, tetapi hendaknya dengan cara merenungkan dan merancang sebuah strategi koheren. Otak, bukan dengan kekuatan fisik, adalah motto Mahathir.

Sayangnya, kontroversi yang tercipta dari pidatonya tentang Yahudi telah menenggelamkan pesan utamanya, khususnya di dunia Barat. Dapat diduga, juru bicara Israel menganggap komentar Mahathir itu sebagai anti-Semit; dan mudah ditebak, reaksi AS juga senada, seperti dikatakan juru bicara Gedung Putih, “Kami melihat pernyataan Mahathir sebagai penghinaan dan cemooh.” Menlu Italia menganggap pidato itu sebagai “sangat ofensif” dan kalangan diplomat Malaysia di London dan Berlin dipanggil menghadap kantor departemen luar negeri masing-masing negara itu untuk menerima protes keras.

Mengapa Barat seperti disengat kalajengking oleh komentar Mahathir soal Yahudi yang notabene hanya bagian kecil dari keseluruhan pidatonya? Yahudi-Kristen telah membuat apa yang disebut dengan teologi Holocaust, merujuk pada berbagai ragam penderitaan yang dihadapi Yahudi di tangan kaum Nazi Jerman. Oleh karena itu, Barat memberlakukan suatu kode etik. Siapapun dapat mengeritik Israel dan rakyat Israel, tapi jangan mengeritik Yahudi. Pada waktu yang sama, Israel mengeksploitasi sejarah tragis mereka itu dengan cara menyamakan berbagai kritikan atas negara Israel dengan anti-Semitisme.

Tentang berlindungnya kaum Yahudi di bawah ketiak negara adi daya satu-satunya, setiap orang tahu level kekuatan dan kekuasaan apa yang dinikmati kalangan lobi Yahudi dalam mempengaruhi Gedung Putih dan Parlemen AS, kendati tidak banyak pemimpin dunia yang berani bicara terang-terangan seperti Mahathir.

Pidato terakhir Perdana Menteri Mahathir di depan pertemuan dunia sebelum dia mengundurkan diri pada akhir Oktober itu mengundang sambutan meriah (standing ovation) dari hadirin yang terdiri dari berbagai pemimpin dunia, termasuk kalangan aliansi AS sendiri seperti penguasa Qatar yang negaranya digunakan sebagai markas besar utama militer AS untuk operasi Perang Irak.

Para hadirin tampaknya kurang memahami reaksi Barat atas pidato Mahathir, mungkin karena mereka tidak terbebani rasa bersalah kolektif atas tragedi Holocaust seperti yang dialami Barat.

Kata-kata kontradiktif dari Letjen Boykin dan Mahathir Mohamad mencuatkan pertanyaan yang lebih luas atas apa yang terjadi di dunia kontemporer. Di era kemajuan teknologi canggih ini, mestikah kita kembali pada perang agama seperti dulu?

Apabila sekularisme Barat, di mana AS sebagai benteng utamanya, mulai dilanggar, bagaimana dunia dapat mempertahankan ide pemisahan gereja dan negara pada agama dan lingkungan lain? Dan apabila kecenderungan negara dibentuk berdasarkan agama semakin meningkat, bagaimana hal ini dapat direkonsiliasikan dengan sistem negara-bangsa dewasa ini?

Melihat fenomena Amerika saat ini, tampak jelas kondisi politik Amerika semakin ramah pada kalangan fundamentalis agama. Hubungan antara neokonservatif yang mendominasi pemerintahan Bush dan kalangan pendukung evangelist Kristen sayap-kanan, khususnya di Selatan, sudah umum diketahui.

Presiden George Bush sendiri digambarkan sebagai seorang Kristen yang terlahir kembali. Kalimat yang sering dipakai Bush pun sering membuat kalangan sekuler khawatir. Perubahan sikap Bush ini semakin tampak terutama pasca tragedi 9/11, pengalaman traumatis yang ikut membantu gerakan kebangkitan agama.

Poin yang perlu digarisbawahi dari paparan di atas adalah bukan fundamentalisme Islam saja yang perlu dikuatirkan. Banyak fundamentalisme lain, termasuk fundamentalisme varian dari Kristen, yang semakin banyak dipraktikkan di AS. Dan dalam beberapa aspek, fundamentalisme Kristen memiliki ancaman yang lebih besar karena posisi Amerika sebagai negara adi daya tunggal. Apabila sang jenderal yang sedang aktif memegang jabatan wakil menteri pertahanan untuk intelijen dapat memerankan dirinya sebagai crusader, maka ia dapat mempermainkan Konstitusi Amerika. Dan apabila Konstitusi dan aturan hukum tidak lagi diagungkan, bagaimana Amerika dapat mengibarkan bendera demokrasi di Timur Tengah dan dunia?

Pertanyaan di atas mendesak untuk segera dijawab. Apabila AS mengenakan pakaian misionaris Kristen hanya untuk mengkonversi dunia, maka AS sedang mencari masalah.

Pemerintahan Bush telah menyalurkan energinya mencoba meyakinkan dunia bahwa perangnya melawan teror bukanlah perang atas Islam. Usaha AS ini tidak akan berhasil apabila presidennya sendiri selalu berbicara untuk memerangi negara-negara poros setan dan jenderalnya melihat dunia sebagai panggung di mana diri mereka adalah para malaikat yang sedang menumpas Setan.

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India.
tulisan ini berasal dari www.fatihsyuhud.com

WASPADA Online, 13 Aug 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Dunia luar mungkin tidak menganggap perlu untuk
berkunjung ke kawasan Darfur, Sudan bagian barat, yang
umumnya tandus dan terputus dari pandangan dunia.
Tetapi kenyataan itu tidak menghentikan komunitas
internasional untuk mengetahui tragedi apa yang sedang
terjadi di kawasan itu.

Tindakan yang awalnya dimaksudkan sebagai usaha untuk
mencegah aktivitas pemberontakan itu ternyata berubah
menjadi bencana kemanusiaan yang menyedihkan. Ketika
etnis Afrika yang tinggal di kawasan itu mulai
mengadakan aktivitas pemberontakan, melancarkan
berbagai serangan pada garnisun aparat kepolisian dan
bandar udara di daerah itu, mereka berhadapan dengan
pasukan bersenjata berkuda Arab nomad, yang dikenal
dengan Janjaweed, yang diperkirakan menjadi
kepanjangan tangan dari pemerintahan di Khartoum.
Akibatnya, warga sipil yang tinggal di sekitar daerah
itu terperangkap di tengah-tengah dua kekuatan yang
sedang bertempur.

Sebagaimana dilaporkan, berdasarkan foto udara
Amerika, terdapat 300 desa, dari 576 perkampungan yang
hancur total. Kisah tragis tentang pemerkosaan oleh
milisi yang menang dilaporkan oleh kalangan pengungsi
yang berhasil melarikan diri. Sekitar satu juta orang
dikabarkan terusir dari rumah mereka, 150.000 atau
lebih melarikan diri ke sepanjangperbatasan negara
Chad. Pemerintah Sudan mengatakan situasi yang terjadi
sudah dilebih-lebihkan oleh kalangan luar, dan menolak
tuduhan bahwa pemerintah mendukung milisi Janjaweed
atau bahwa sedang terjadi pembunuhan masal di kawasan
itu.

Tetapi Sekjen PBB, Kofi Annan, dan Menlu AS, Colin
Powell, yang mengunjungi perkemahan para pengungsi,
tampak tidak yakin. Keduanya memperingatkan Sudah
bahwa waktu sudah habis bagi pemerintah Sudan untuk
membalik situasi di Darfur atau kalau tidak, Sudan
akan menghadapi reaksi keras komunitas internasional,
yang dapat bermakna berbagai sangsi atau bahkan
mungkin tindakan militer. Pemerintah Sudan tampaknya
memahami betul ancaman itu. Menlu Sudan pun akhirnya
berjanji untuk bekerja sama.

Dalam suatu jumpa pers di Ethiopia (13/7), Usman Al
Said, duta besar Sudan untuk Uni Afrika (UA)
menyatakan, “Sudah tidak sepakat dengan resolusi Dewan
Keamanan (DK) PBB, tetapi kami akan mentaati resolusi
itu. Sebab, seandainya tidak, kami tahu musuh-musuh
kami tidak akan ragu untuk mengambil langkah melawan
negara kami.”

Dalam kesempatan yang sama, Al Said menambahkan,
“Sudan menerima keputusan DK PBB dalam soal Darfur,
karena ia anggota PBB dan tidak ada pilihan lain.
Sudah tidak akan menjadi Israel kedua, yang tidak
punya respek pada keputusan badan dunia.”

Pernyataan Al Said soal ketidakrespekan Israel
terhadap PBB itu sebenarnya juga menghinggapi pikiran
banyak orang di dunia. Namnun, yang menjadi pertanyaan
kita adalah mengapa Kofi Annan dan Colin Powell tidak
dapat menunjukkan ketegasan dan keberanian yang sama
dalam kasus tragedi kekejaman yang dilakukan oleh
Israel? Baru beberapa minggu yang lalu International
Court of Justice (ICJ) mengeluarkan keputusan yang
menyatakan bahwa “pagar keamanan” yang sedang dibangun
oleh Israel di kawasan Palestina yang diduduki, dengan
memotong perkotaan dan ladang warga Palestina, adalah
ilegal dan harus dirobohkan. Di PBB, sebuah resolusi
telah disepakati di Majelis Umum dengan 150 suara,
dengan hanya enam yang menentang dan 10 abstain,
meminta Israel agar mentaati keputusan ICJ tersebut.

Situasi di lapangan di kawasan Palestina yang diduduki
dan penderitaan yang dialami warga Palestina tidak
hanya bisa dilihat melalui foto udara atau melalui
kisah para pengungsi. Setiap hari, tentara Israel
menghancurkan rumah-rumah, ladang dan kebun
buah-buahan warga Palestina, dan membunuhi mereka.
Namun demikian, mereka tidak mampu sedikitpun untuk
mengajukan draft resolusi ke Dewan Keamanan PBB karena
pasti akan diveto oleh Amerika Serikat yang berarti
pekerjaan yang sia-sia.

Karena keputusan ICJ dan resolusi Majelis Umum PBB
sama-sama tidak mengikat, maka Israel bebas meneruskan
proyek pagar keamanan-nya, yang pada akhirnya, menurut
para analis, akan merubah kawasan Palestina menjadi
kota-kota yang terkepung musuh.

Rakyat di Darfur tampaknya dapat mencapai dalam 17
bulan apa yang tidak dapat dicapai oleh rakyat
Palestina dalam tiga dekade: dukungan bulat komunitas
internasional termasuk, yang terpenting, dukungan AS.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik
Agra University,India.

tulisan ini berasal dari www.fatihsyuhud.com

WASPADA Online 16 Aug 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Secara historik, istilah “fundamentalisme” diatribusikan pada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolut dan sempurna dalam arti literal
dan, dengan demikiran, mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar dan tak terampuni.

Dalam konteks ini, Kamus Oxford mendefinisikan fundamentalisme sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam
pandangan Kristen Protestan”. Julukan ini, walaupun dimaksudkan untuk menggarisbawahi ketaatan absolut kaum Protestan atas ajaran Injil, tidaklah dipakai
untuk melecehkan.
Konsep asal fundamentalisme itu sekarang menjadi
bagian masa lalu. Selama lebih dari dua setengah
dekade, interpretasi baru dari istilah ini menjadi
populer. Fundamentalisme menjadi sinonim dengan
ekstremisme dan radikalisme yang berakar dari
intoleransi agama. Persepsi ini jelas tidak tepat dan
menyesatkan karena fundamentalisme tidak dapat
disejajarkan dengan esktrimisme dan radikalisme. Yang
pertama bermakna ketaatan penuh pada ajaran-ajaran
dasar agama yang dilakukan oleh para penganut taat
suatu agama, sebaliknya makna kedua ditolak oleh
seluruh penganut agama yang benar.

Interpretasi fundamentalisme menjadi kontroversial
karena ia jarang dipakai secara imparsial, objektif
dan rasional. Aplikasi makna fundamentalisme esensinya
berdasarkan pada apa yang dipahami dan dinyatakan oleh
beberapa kelompok tingkat tinggi dari kalangan
politisi, akademisi dan media. Di tengah terjadinya
Islamofobia dan histeria antimuslim yang terjadi di
sejumlah negara Barat, khususnya di AS dan Israel,
saat ini istilah fundamentalisme digunakan secara
subjektif, selektif dan bias untuk melecehkan dan
menjatuhkan Islam dan menggambarkannya sebagai ancaman
pada peradaban Barat. Propaganda anti-Islam
“fundamentalis” dan “militan” semakin meningkat sejak
revolusi Iran pada 1979. Sejumlah pemimpin Barat dan
akademisi serta kelompok media berpengaruh dengan
penuh semangat berpartisipasi dalam usaha ini. Seperti
yang dikatakan Presiden AS Richard Nixon,
“Fundamentalisme Islam telah mengganti komunisme
sebagai instrumen pokok perubahan dengan cara
kekerasan.”

Nixon juga mengatakan, “Ideologi komunis menjanjikan
modernisasi cepat, sedangkan ideologi revolusi Islam
adalah reaksi atas modernisasi. Komunisme berjanji
untuk mempercepat putaran jam sejarah ke depan, sedang
Islam fundamentalis hendak membalik sejarah ke masa
lalu”. Implikasi implisit ucapan Nixon ini adalah
bahwa “fundamentalisme Islam” memiliki potensi sebagai
ancaman lebih besar daripada komunisme.Dalam buku
“Satanic Verses”, Salman Rushdie berpendapat bahwa
“Islam”-lah yang bertanggung jawab dalam
“mempromosikan kebencian pada peradaban modern”.
Samuel P Huntington, dalam “The Clash of
Civilisation”, mengingatkan dunia Barat atas berbagai
ancaman yang berasal dari Islam. Dalam “Todays New
Fascists”, Francis Fukuyama mengungkapkan
kekuatirannya atas bangkitnya “Islam-Fasis” baru.
Ungkapan Fukuyama ini merupakan kelanjutan dari
kekuatirannya atas munculnya “Islam radikal” yang
dibahas mendetail dalam bukunya “The End of History
and the Last Man”. Namun demikian, tidak ada yang
dapat menandingi V S Naipaul, pemenang Nobel, dalam
menyerang Islam. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata
sarkasmenya, seperti “Terlukanya peradaban India
merupakan hasil kerja Islam” (dalam bukunya A Wounded
Civilization), “Muslim non-Arab adalah pemeluk tidak
otentik..” (dalam Among the Believers), dan “Islam itu
menjijikkan” (dalam Beyond Belief)

Berbagai macam penghinaan terhadap Islam, baik dengan
kekerasan maupun nonkekerasan, mencapai proporsi yang
mengkhawatirkan pasca-serangan teroris pada gedung WTC
dan Pentagon pada 11 September 2001. Berbagai usaha
direkayasa untuk menghubungkan Islam dengan terorisme
telah menyulut ketegangan komunal di sejumlah negara
Barat, khususnya AS. Banyak yang dilecehkan dan
diperlakukan tidak manusiawi hanya karena memakai nama
Muslim dan memelihara jenggot dan jilbab. Di atas
semua itu, invasi pimpinan AS ke Afghanistan dan Irak
plus peningkatan serangan Israel pada rakyat Palestina
semakin mempersulit masalah dan semakin menjauhkan
diri dari skenario kerukunan global antaragama.

Banyak kalangan yang anti “fundamentalisme Islam” di
satu sisi mengklaim dirinya komitmen pada demokrasi.
Akan tetapi, pada waktu yang sama mereka tidak
segan-segan menyerukan untuk melakukan segala cara
dalam memberantas fenomena “Islam fundamentalis”,
termasuk dalam hal ini, dengan cara kekerasan yang
jelas-jelas tidak demokratik. Ann Coulter, umpamanya,
menyerukan: “Kita hendaknya menginvasi negara-negara
mereka (Muslim), membunuh pemimpin mereka dan
mengkonversi mereka dalam pelukan Kristiani”; Rich
Lowry menyerukan AS supaya “mengebom Mekkah”. Senada
dengan seruan kedua kolumnis konservatif AS ini,
berbagai tulisan Salman Rushdi yang menentang Islam,
Nabi Muhammad dan umat Islam dipandang sebagai bentuk
kebebasan berekspresi, tetapi berbagai kritikan pada
buku kontroversialnya “Satanic Verses” (Ayat-ayat
Setan) dianggap sebagai manifestasi dari fanatisisme.
Tidakkah wajar dan logis kalau kita anggap bahwa sikap
semacam itu sebagai contoh konkrit standar ganda dan
hipokrisi?

Harus diakui, kelompok radikal dan militan di antara
pemeluk Islam itu ada. Dalam tubuh agama lain juga
terdapat elemen-elemen ekstrim semacam itu. Akan
tetapi, secara faktual mereka, kalangan ekstrimis di
berbagai agama ini, adalah bagian kecil dari populasi
dunia dan secara bulat ditolak keberadaannya oleh
bangsa-bangsa pecinta damai dan penegak keadilan,
termasuk oleh negara-negara Islam. Seluruh
negara-negara dunia, dengan pengecualian Afghanistan
di bawah rezim Taliban, mengecam serangan teroris 11/9
di Amerika. Bahkan Abdullah Awad, kakak kandung Osamah
bin Laden, mengecam serangan itu sebagai “pelanggaran
mendasar pada prinsip-prinsip utama Islam.” Apalagi,
sejak itu seluruh negara Muslim meningkatkan usaha
mereka untuk memerangi dan mencegah terorisme. Dengan
adanya fakta-fakta tak terbantahkan ini, apakah
menghubungkan Islam dengan fundamentalisme dan
terorisme masih relevan?

Sayangnya, istilah fundamentalisme dan terorisme
secara eksklusif selalu diidentikkan dengan Islam
tanpa memandang realitas di lapangan. Apakah ini
berarti bahwa tidak ada individu atau kelompok dalam
agama Kristen, Yahudi, Hindu dan non-Muslim lain yang
lebih berhak menyandang “gelar” itu? Tidakkah
menghakimi Islam dengan hanya berdasarkan kebijakan
opresif Taliban di Afghanistan dan tindakan brutal Al
Qaidah itu bagaikan menghakimi Kristen dengan aksi
barbar Adolf Hitler di Jerman, Benito Mussolini di
Italia dan Slobodan Milosovic di Bosnia? Karena
tindakan ekstrimisme yang dilakukan Ariel Sharon tidak
membuat umat Yahudi disebut sebagai “fundamentalis
Zionis”, maka sudah logis kiranya kalau tindakan
radikal Mullah Umar dan Usamah bin Ladin tidak
menjadikan 1.3 milyar Muslim sebagai “Islam
fundamentalis”. Begitu juga, apabila jaringan radikal
Islam semacam Al Qaidah atau kelompok pemberontak di
Filipina seperti Abu Sayyaf disebut sebagai “teroris
Islam”, maka julukan yang sama hendaknya dilekatkan
pada tindakan terorisme yang dilakukan oleh Timothy
McVeigh di Amerika dan kultus Aum Shimrikoy di Jepang.

Di era sekarang di mana dunia dipenuhi dengan berbagai
problem dan konflik ini, sangat dibutuhkan adanya
berbagai usaha maksimum untuk mempromosikan perdamaian
dan keamanan. Namun demikian, hal ini akan tetap
menjadi mimpi sampai perpecahan agama dapat
dijembatani dan harmoni antaragama terbentuk.
Menyudutkan satu agama tidak akan membuat bertambahnya
prestise dan keamanan agama lain. Begitu juga,
fenomena patologis seperti fanatisisme, kebencian,
irasionalitas, ketakutan yang berakar dari
ketidakpedulian dan pikiran picik, hanya akan
memperlebar polarisasi agama.

Idealnya, isu sulit seperti ekstremisme dan terorisme
hendaknya didekati dengan pikiran terbuka dan tanpa
bias agama. Diperlukan juga memperhatikan akar
penyebab, bukan hanya gejala dari fenomena tersebut.
Karena, tidak ada negara atau sekelompok negara,
bagaimanapun kuatnya, dapat memerangi dan
menyelesaikan tantangan ini secara efektif sendirian.
Dengan demikian, tidak ada alternatif dalam mengatasi
hal ini kecuali dengan kerja sama global.

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
Agra University, India.

tulisan ini diambil dari www.fatihsyuhud.com

WASPADA Online 06 Sep 04 11:42 WIB

Oleh A Fatih Syuhud *

Idealnya, setiap orang memiliki kebebasan personal plus tuntunan
manual untuk menggunakannya secara diskriminatif. Lingkungan sosial
hendaknya diciptakan guna mendorong orang untuk berpikir dan memahami
bahwa kebahagiaan abadi bukan terletak pada kenikmatan sensual dan
peningkatan level konsumsi, tetapi dari pengertian mendalam akan
kebutuhan nurani dan berperilaku sejajar dengan kebutuhan nurani
tersebut.

Kebebasan personal dalam kondisi semacam ini adalah kebebasan yang
membebaskan. Tetapi apa yang harus dilakukan apabila kita mesti
memilih antara “lingkungan diskriminatif” dan “kebebasan personal?”
Apakah kondisi diskriminatif harus didahulukan dari kebebasan
personal atau sebaliknya? Pertanyaan inilah yang sekarang lagi ramai
diperdebatkan menyusul kontroversi film BCG (Buruan Cium Gue).
Kebebasan personal dapat dikategorikan dalam dua tipe – kebebasan tak
bermoral (licentiousness) dan kebebasan diskriminatif. Orang yang
berperilaku asusila atau tak pantas tanpa memikirkan kepentingan
jangka panjangnya masuk dalam kategori pertama. Orang semacam ini,
atas nama kebebasan ekspresi, menggunakan kebebasannya untuk
berperilaku asusila – minum alkohol dan narkoba, berzina, mencuri,
berbaju tidak layak di depan umum, dan lain-lain. Sebaliknya, orang
yang memikirkan konsekuensi jangka panjang sebelum berbuat dikatakan
perilaku kebebasan diskriminatif. Tipe kedua ini akan berpikir
mengapa ia tak bahagia mengendarai mobil, sementara yang lain sudah
puas dengan memakai motor; mengapa ia tak puas mengendarai motor
sementara yang lain bahagia naik bis kota. Atau, mengapa mabuk-
mabukan di diskotik di suatu malam membuatnya tidak enak tidur. Jelas
di sini, bahwa kebebasan personal itu merugikan sedang kebebasan
diskriminatif dan selektif membebaskan. Kondisi sosial mempunyai
dampak menentukan pada sikap kita dalam menggunakan kebebasan
personal. Seperti dua putri kembar yang menikah dengan dua keluarga
yang berbeda dan tumbuh dalam karakter yang berbeda setelah 20 tahun.
Yang satu menikah dengan seorang ulama atau pendeta aktif dalam
berbagai aktivitas keagamaan. Sedang yang lain menikah dengan seorang
pebisnis selalu ingin memamerkan kekayaan dalam setiap pertemuan
sosial dengan mengenakan baju dan perhiasan mahal. Kedua putri kembar
itu mewarisi kedua tendensi, tetapi perkembangan mereka tidak sama
karena ditempatkan dalam kondisi sosial yang berbeda.

Setiap individu ingin berbahagia dan memiliki hak kebebasan dasar
untuk mencari kebahagiaan sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi
masyarakat memiliki tanggung jawab untuk membantunya menggunakan
kebebasan itu dengan benar. Kondisi sosial harus mendorong orang
untuk menggunakan kebebasan mereka secara selektif dan diskriminatif
daripada hanya digunakan untuk memenuhi keinginan asusilanya.

Produser film dan sinetron memiliki hak dan kebebasan untuk
memproduksi film apapun. Akan tetapi, apabila kebebasan itu digunakan
untuk mempromosikan nilai-nilai vurgar dan amoral di kalangan
generasi muda, maka hal ini hanya akan menggiring generasi mendatang
pada kebebasan yang tidak bertanggung jawab; kebebasan artifisial
yang dampak negatifnya sudah mulai kita lihat dan saksikan bersama.

Benar, setiap orang hendaknya mendapatkan hak dan kebebasan untuk
memilih gaya hidup yang dia suka, yang akan membuatnya bahagia. Ini
artinya bahwa ia harus diberi kebebasan personal dan kondisi
diskriminatif-selektif. Dari dua hal tersebut, kondisi diskriminatif
jauh lebih penting. Seseorang yang hidup dalam lingkungan semacam
itu, dengan kebebasan personal agak terbatas, akan tetap bergerak
maju -walau agak lambat. Akan tetapi, seseorang yang memiliki
kebebasan personal dalam lingkungan asusila akan merugikan dirinya
sendiri dengan berperilaku yang berlawanan dengan kepentingan jangka
panjangnya. Kemajuan yang lambat akan lebih baik dari pada bergerak
mundur. Jadi, kondisi diskriminatif dan selektif hendaknya lebih
didahulukan daripada kebebasan personal.

Memang, United Nations Development Programme (UNDP) mengatakan dalam
edisi terbaru Human Development Report (HDR) bahwa kebebasan personal
merupakan nilai final. Sayangnya, HDR tidak menyinggung peran
lingkungan. Ia memberi contoh Mahatma Gandhi yang menggunakan
kebebasan personalnya, setelah melakukan refleksi mendalam, untuk
memperjuangkan Kemerdekaan India bukan mencari profesi hukum di
Inggris yang lebih menjanjikan. UNDP mengatakan bahwa setiap individu
harus memiliki kebebasan itu guna dapat hidup menurut konsepsinya
sendiri sebagaimana Gandhi memiliki kebebasan memilih aktivitas yang
dia suka.

Argumen UNDP ini tentu saja sangat valid. Akan tetapi perlu ada
jaminan bahwa kondisi sosial juga sudah mapan. Gandhi hidup dalam
lingkungan sosial yang membuatnya termotivasi melakukan pemikiran
diskriminatif-selektif. Seorang anak besar kemungkinan akan menjadi
pencuri apabila ia dibebaskan hidup dalam lingkungan pencopet.
Kebebasan itu membebaskan dalam suatu lingkungan diskriminatif-
selekif dan akan merusak dalam lingkungan sosial asusila. UNDP lupa
poin krusial ini. Sementara UNDP membuat contoh seorang Gandhi, ia
lupa mencatat bahwa Gandhi menggunakan kebebasannya setelah refleksi
mendalam. Kebebasan personal memang membebaskan dalam lingkungan
diskriminatif-selektif. Tetapi UNDP mengacuhkan peran krusial
lingkungan sosial dan menekankan kebebasan sebagai nilai yang berdiri
sendiri. Akibatnya, pendekatan UNDP ini sejajar dengan seseorang yang
menggunakan kebebasan personalnya untuk tujuan kesenangan sensual,
vulgarisme dan berbagai aktivitas anti-sosial lainnya.

UNDP memberi label pada kultur yang tidak memberikan kebebasan
personal sebagai tidak manusiawi (inhuman). Kultur Timur secara
tipikal lebih memfokuskan “Realitas” dalam diri dari pada memperlebar
kesenangan sensual. Ajaran Islam mendorong wanita untuk mengenakan
jilbab agar tidak menciptakan daya tarik seksual dalam perkumpulan
sosial. Tradisi Budha menganjurkan pemeluknya untuk mengikuti jalan
tengah guna mencegah eksesivitas pada apapun. Tradisi Hindu
menganjurkan kalangan muda untuk memilih pekerjaan seperti orang
tuanya agar supaya ia tidak membutuhkan banyak waktu untuk
mempelajari cara baru untuk mendapatkan uang yang sama yang dapat ia
capai lebih mudah dengan mengikuti tradisi keluarganya.

Agama lebih memberikan prioritas pada lingkungan diskriminatif-
selektif dan, dengan demikian, kebebasan personal yang agak terbatas.
Agama menolak kebebasan personal guna mendorong, bahkan memaksa,
pemeluknya untuk melakukan kebebasan diskriminatif-selektif; persis
seperti badan sensor film membatasi kebebasan pada film-film
tertentu. Dus, lingkungan sosial diskriminatif harus lebih
diprioritaskan walaupun musti mengorbankan kebebasan personal.

UNDP mengatakan bahwa restriksi pada kebebasan personal tidak baik,
karena kebebasan personal merupakan nilai yang sudah terbukti (self-
evident). Seseorang harus dibebaskan menonton film vulgar. Tidak ada
bukti bahwa kebebasan personal semacam itu akan merusak atau
merugikan. Implikasi dari pandangan UNDP ini adalah bahwa kebebasan
asusila lebih baik daripada kebebasan restriktif-diskriminatif. UNDP
mendorong kebebasan asusila dengan tidak membahas masalah lingkungan
sosial. Ia menjustifikasi hubungan homoseksual dan lesbian (hal.19).
UNDP mengatakan bahwa globalisasi harus diikuti total karena ia
memberikan keuntungan ekonomi walaupun dapat berdampak kerusakan
kultural (hal.20). Bahwa perkembangan kultural hendaknya tidak
terlalu dipandang penting karena akan menghalangi kemajuan ekonomi
(hal.41).

Jadi jelas, tujuan dari UNDP adalah mempromosikan konsumerisme dan
asusila. Kesejahteraan jangka panjang individu dan masyarakat
dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi, konsumsi dan kebebasan
personal. Pendapat yang sama juga dianut oleh kalangan pro-kebebasan
berekspresi total yang memprotes himbauan Aa Gym dan MUI terhadap
film BCG.

* Penulis adalam mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University
dan Research Associate Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New
Delhi, India.

tulisan ini diambil dari www.fatihsyuhud.com

Senin, 29 Juni 2009

Kemelut Panjang di Irak

Kemelut Panjang di Irak 

12 September 2005 in Artikel Opini, Harian Waspada

WASPADA Online 04 Mei 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Sejumlah insiden terakhir di Irak telah memaksa AS untuk mendeklarasikan bahwa ia akan melakukan kebijakan yang lebih agresif dalam menghadapi ‘aksi teroris’ dan perlawanan bersenjata. Tidak ada yang tahu apakah langkah semacam itu akan berguna dalam jangka panjang. Terutama ia tampak kontraproduktif dalam usaha AS merebut hati rakyat Irak.

Perlawanan telah mendapatkan momentum di Irak. Ia merefleksikan perencanaan dan koordinasi yang lebih canggih. Terdapat juga gejala bahwa perlawanan bersenjata tidak lagi terbatas dilakukan warga Irak tetapi ada kemungkinan partisipasi elemen asing yang memasuki Irak dari berbagai negara.

Fareed Zakaria, redaktur Newsweek mencatat pada November ‘semakin jelas bahwa resistansi di Irak bukanlah pekerjaan sekelompok kecil orang, tetapi telah menjadi gerakan yang semakin meluas.’ Laporan berbagai kantor berita mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara komando AS di Irak dan CIA tentang jumlah yang sebenarnya dari kelompok perlawanan. Jenderal John Abizaid percaya jumlah mereka sekitar 5000 sedang CIA memperkirakan sekitar 50.000. Suatu perbedaan yang sangat menyolok dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan besar AS dalam konteks pengumpulan intelijen militer.

Peningkatan respons militer bukanlah jawaban terbaik. Perang nonkonvensional sangat tergantung pada simpati rakyat. Semakin banyak pasukan konvensional memanifestasikan diri melalui pengeboman dan berbagai perangkat keras militer di jalan-jalan, semakin mengesankan adanya peningkatan ketidaknormalan. Langkah semacam itu hanya akan mengalienasi populasi lokal dan hidup keseharian mereka. Tayangan televisi tentang anak-anak kecil yang memeluk ibu mereka ketika pasukan AS memeriksa baju mereka, jelas tidak akan menciptakan dukungan dan simpati bagi pasukan koalisi di dunia Arab.

Aspek lain yang mengancam hubungan konstruktif di Irak adalah perubahan radikal dalam perimbangan pemerintahan. AS tampaknya mengacuhkan fakta bahwa populasi Sunni di Irak merupakan komponen intelektual sentral di Irak. Komunitas Sunni ini telah menciptakan banyak politisi, profesional, insinyur, guru, pedagang dan pemimpin pasukan. Sebaliknya, populasi Syiah lebih terlibat dalam bidang teoktratis dan bagian kecil pemerintahan. Sejumlah usaha saat ini untuk menciptakan mayoritas Syiah pada eselon kekuasaan dan memarjinalkan pengaruh Sunni cukup mengundang kecurigaan. Akan lebih tepat seandainya otoritas koalisi menciptakan perimbangan antara Sunni yang menuntut kekuasaan dan Syiah yang meminta demokrasi langsung, bukan pemilu tidak langsung.

Terdapat juga dua elemen lain yang mempengaruhi psikis publik Irak. Ketergantungan AS pada kalangan ekspatriat Irak sebagai ‘anak emas’ dalam reformulasi basis kekuasaan dan anggapan miring atas elemen suku Kurdi telah menciptakan dinamikanya sendiri.

Pada 16 Oktober, AS memperoleh kemenangan diplomatik di DK PBB. Pada hari itu, DK PBB secara bulat mengadopsi resolusi tentang rekonstruksi politik dan ekonomi di Irak. Resolusi ini mempertegas berbagai Resolusi sebelumnya termasuk Resolusi 1483 pada 22 Mei 2003, Resolusi 1500 pada 14 Agustus 2003, dan sejumlah resolusi yang berkaitan dengan ancaman perdamaian dan keamanan yang disebabkan oleh aksi teroris seperti Resolusi 1373 pada 28 September 2001.

Sejak itu, diadakan pertemuan donatur di Madrid di mana sejumlah AS.5 milyar dijanjikan dalam bentuk bantuan dan hutang guna membantu membangun kembali Irak. Banyak ungkapan indah terdengar tetapi faktanya adalah sampai saat ini India, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia dan Jepang belum mengirim satupun pasukan sebagai penjaga perdamaian atau untuk memperbaiki kondisi stabilitas dan keamanan. Kehadiran pasukan Turki juga digagalkan pada detik-detik akhir.

Perdebatan tentang legalitas keterlibatan bersenjata di Irak saat ini semakin kompleks dengan adanya keputusan Komando AS untuk menjalankan kebijakan yang lebih agresif. Protokol 1 1997 Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 dijadikan rujukan oleh kelompok civil society berkenaan dengan meningkatnya insiden ‘collateral damage’ yang diderita warga sipil. Kondisi yang semakin memburuk jelas akan mempengaruhi impelementasi tindakan legal yang diperlukan bagi pembentukan Pemerintahan Irak yang sah di masa depan.

Chris Patten, menteri luar negeri Uni Eropa, baru-baru ini menulis di Foreign Policy bahwa ‘kebebasan merupakan aspirasi umat manusia, demokrasi tidaklah berlawanan dengan pembangunan, dan masyarakat terbuka berlaku tidak hanya untuk dunia Islam tapi juga Kristen dan Kong Hu Chu.’ Islam, harus dipahami tidak identik hanya terbatas pada Liga Arab. Lebih banyak muslim yang tinggal di luar Timur Tengah dan banyak dari mereka yang tinggal di negara demokratis, semacam Indonesia, Malaysia, dan lain-lain.

Demokrasi dalam maknanya yang sejati juga akan mungkin diaplikasikan di Irak dan Afghanistan. Ia membutuhkan banyak waktu dan kesabaran. Akan tetapi, proses perubahan, baik politik maupun ekonomi akan sulit bahkan tidak mungkin tercapai melalui moncong senjata.

Langkah membangun kepercayaan hendaknya dimulai dengan membawa kembali suasana normal. Kredibilitas harus diperbaiki demi suksesnya proses ini. Dan harus ada pemahaman di Irak bahwa demokrasi dan pengembangan prinsip demokrasi bukanlah bagian dari opsi geostrategi barat. Signifikansi dari kunjungan rahasia Presiden Bush pada hari Thanksgiving ke basis militer AS di Irak hendaknya tidak terlalu dilebih-lebihkan. Memang, kunjungan ini penting untuk mendapatkan suara domestik AS, tetapi kita tidak tahu apakah hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi kejadian di lapangan di Irak.

Dengan adanya dukungan berkelanjutan pihak Barat terhadap banyak rejim opresif Arab, maka mudah dimengerti apabila pembahasan demokratisasi menimbulkan kecurigaan saat ini di jalanan Baghdad, Basra dan Tikrit. Reaksi umum adalah bahwa Pasukan Koalisi sedang mencari alasan yang pantas dan mencoba untuk mengangkat tokoh-tokoh pro-Barat.

Dewan Pemerintah telah mengumumkan rencana masa medium mereka di Baghdad. Pemerintahan model Afghan ini melibatkan penyeleksian delegasi untuk membentuk Dewan Nasional. Badan ini pada gilirannya akan membentuk pemerintahan ‘elit’pada bulan Juni tahun depan. Ini kemudian akan disusul dengan konvensi konstitusional, referendum dan pemilu nasional, yang akan dilakukan pada 2005-06. Pemerintahan AS juga mengindikasikan sejumlah langkah yang mereka harap akan terjadi pada tahun depan.

Waktu adalah sangat utama bagi Bush. Pemilihan presiden AS akan diadakan pada November 2004. Peringkat Bush melorot sampai 50 persen dalam angket yang diadakan USA Today/CNN/Gallup baru-baru ini. Angka ini masih berada dalam batas wajar untuk dapat sukses bagi terpilihnya kembali Presiden yang sedang berkuasa. Bush tentu saja menyadari hal ini. Akan tetapi, para pendukungnya juga tahu bahwa kecuali apabila kemelut Irak segera diatasi, basis pendukungnya mungkin dapat semakin melorot. Faktor ini mendapatkan perhatian yang signifikan terutama setelah semakin banyakan personil Koalisi yang tewas oleh senjata berteknologi tinggi oleh mereka yang menentang pasukan pendudukan.

Demokrasi memang diperlukan tetapi jalan menuju demokrasi tidak selalu dapat diprediksi. Kita hanya dapat berharap bahwa proses pengembalian negara itu pada pimpinan Irak yang dipilih rakyat akan segera terjadi.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New Delhi, India.
artikel ini diambil dari www.fatih syuhud.com

AS dan Demokratisasi Arab

AS dan Demokratisasi Arab 

20 Juni 2005 in Artikel Opini, Duta Masyarakat

Duta Masyarakat, 20 Juni 2005

Oleh A Fatih Syuhud

Amerika yang buruk di Vietnam menjadi lebih buruk di Irak. Bukanlah kebiadaban My Lai (Vietnam) yang mendefinisi imej buruk AS dewasa ini tetapi sadisme Abu Ghuraib. Namun demikian, versi kekejaman ini kemungkinan belum mencapai titik nadir. Titik nadir itu akan terlihat ketika pemerintah Bush, yang terdiri dari neokonservatif AS dan Israel, menyerang instalasi nuklir Iran, sebuah kemungkinan yang sudah disinggung Wapres Dick Cheney. Ia akan menjadi sebuah aksi yang kemungkinan bahkan akan membuat Tony Blair sekalipun merasa tidak nyaman.

Tetapi, akankah usaha “agung” AS-Israel untuk mengeliminasi WMD (weapons of mass destruction – senjata pemusnah masal) dan menabur demokrasi guna memenuhi mimpi mereka membentuk sebuah imperium Amerika itu berhasil? Atau, akankah hal ini menandai awal dari akhir status adi daya AS karena serbuan bom pada Iran akan memicu kemarahan pasukan etnik dan agama luar biasa dan tak terkontrol?

Seperti diketahui, sejak runtuhnya Uni Soviet, neokonservatif AS percaya bahwa telah tiba waktunya untuk menaklukkan dunia. Sebagai pembuka, mereka mulai dengan mempermainkan PBB dan mengacuhkan seluruh traktat internasional – dalam soal rudal balistik, global warming, perang kuman, ranjau, pengadilan kriminal internasional, konvensi Jenewa, dan lain-lain.Akan tetapi, pelanggaran pada Konvensi Jenewa yang terbukti akan menjadi blunder berat AS. Begitu neokon memperkenalkan istilah “enemy combatants (petempur lawan),” tidak ada lagi aral yang menghambat militer dan interogator AS melakukan apa yang mereka suka. Dari sinilah awal mula terjadinya kekejaman di penjara Abu Ghuraib. Satu hal yang tidak disadari kalangan penyiksa itu adalah bahwa abad ke-21 ini jauh lebih terintegrasi karena kekuatan media dibanding pada era kolonialisme sebelumnya.

Seluruh imperium dibangun di atas kebrutalan. Namun demikian, barbarisme periode-periode sebelumnya umumnya tidak tampak. Hanya ketika insiden pembunuhan masal besar muncul ke permukaan, maka imperium berusaha menghentikan api kemarahan. Sedang insiden kecil secara rutin disembunyikan. Seperti yang dikatakan penulis biografi Curzon, David Gilmour, “ketika pribumi disiksa atau terkadang dibunuh oleh tentara mabuk, pelakunya hampir selalu mendapat hukuman ringan atau bahkan dibebaskan.”

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya barbarisme dan pembunuhan masal terjadi di abad ini. Bahkan, Jenderal Dyer yang terkenal bengis pun akan menyadari konsekuensi fatal pada imperium Inggris apabila ada kemungkinan pemandangan tragis tertangkap kamera. Tetapi, sekalipun pembunuhan masal terjadi, imperium tidak akan dapat bertahan lebih dari tiga dekade, seperti yang sudah terjadi. Kegoncangan dan horor di seluruh dunia akan sangat besar. Salah satu nilai positif komunikasi audio-visual era modern adalah bahwa penyiksaan dan penindasan atas suatu negara yang dijajah tidak dapat bertahan lama.

Bahkan sejumlah kelompok gerilyawan Irak, yang salah satunya adalah Al Qaidah, bisa mendapat simpati karena melakukan perlawanan atas invasi AS di Irak. Mereka memiliki satu tujuan seperti yang dilakukan Vietkong tiga dekade lalu: bahwa negara adi daya berkekuatan nuklir sekalipun tidak akan bisa mengontrol urusan negara lain. Memang, milisi Irak atau kalangan komunis Vietnam bukanlah sekelompok orang-orang suci. Keduanya mewakili kekuatan totalitarian. Tetapi, mereka setidaknya bertempur di negara mereka sendiri atau di sebuah negeri di kawasan mereka melawan pasukan asing yang datang dari negara berjarak ribuan mil.

Sebelum sejumlah taktik gertakan yang dialamatkan ke Iran (kendati Irak masih tetap kacau) memicu sebuah “kekacauan diplomatik,” seperti peringatan Wapres Dick Cheney, AS mesti ingat satu hal bahwa pada puncak arogansinya pasca-akhir Perang Dingin, Washington pernah sesumbar bahwa AS mampu melakukan dua peperangan sekaligus. Ada juga klaim bahwa satelit AS memiliki kemampuan melihat seluruh dataran bumi sehingga mereka dapat membaca nomor plat mobil. Anehnya, AS tidak dapat menemukan Usamah bin Ladin dan pasukan Al Qaidah-nya yang melarikan diri ke Pakistan.

Alih-alih dapat melakukan dua peperangan sekaligus, AS malah tampak tidak mampu menyelesaikan peperangan dengan sebuah negara yang tidak memiliki WMD. AS juga tidak berani memerangi negara yang memiliki WMD (nuklir) – Korea Utara. Kesalahbacaan kemampuan diri dan sikap barbar pada tawanan bukanlah satu-satunya alasan buruknya citra AS.

Barbarisme ada di mana-mana, seperti di Rwanda dan Chechnya. Namun, walaupun tragis, kedua kasus ini merupakan konflik lokal, bukanlah akibat dari pembangunan imperium (walaupun pertempuran di Chechnya ada sedikit kemiripan). Selain itu, apabila insiden semacam itu cenderung tidak terkontrol lagi, maka komunitas internasional akan turun tangan seperti di Kosovo, atau meminta maaf kemudian hari karena tidak intervensi seperti dalam kasus Rwanda.

Terlanjur basah di Irak, AS tidak dapat keluar, karena kalau mundur tidak hanya hal itu akan membuka kembali luka lama kekalahannya di Vietnam, tetapi juga akan membuat Israel kuatir. Israel sangat berkepentingan melihat AS menaklukkan dunia, yang akan memungkinkannya memulai suatu “solusi final” dari “masalah” Palestina, dengan berpura-pura mundur dari Jalur Gaza sambil menyatakan tetap berhak menyerang balik apabila Tel Aviv curiga bahwa “teroris” Palestina masih mengendap-endap di sana, dan memecah belah Tepi Barat menjadi jalur-jalur lahan terpisah di tengah perkampungan luas Yahudi.

Sebagai bagian dari rencana itu, Ariel Sharon memberi AS sebuah peta identifikasi instalasi nuklir Iran, dengan isyarat implisit bahwa AS hendaknya mengebom instalasi itu sebagaimana Israel mengebom reaktor nuklir Irak yang mendapat anggukan kalangan neokon. Kekacauan di Irak telah merusak rencana itu.

Namun demikian, beragam kesulitan di Irak telah membuat AS (dan Israel) sedikit menahan diri karena sebuah adi daya tidak ingin dilihat terjebak dalam pusaran lumpur dan tampak bersusah payah melawan musuh-musuhnya dalam apa yang disebut sebagai poros setan. Masalahnya, semakin kita mencoba lepas dari pusaran lumpur, semakin dalam kita tenggelam.[]

*Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India

artikel ini diambil dari www.fatihsyuhud.com sebagai sumber pengambilan. Terima kasih. 

Senin, 15 Juni 2009

OPINI

JERAT SURAT ELEKTRONIK

Baru-baru ini Indonesia digemparkan oleh seorang ibu dari dua anak, Prita Mulyasari (32), ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang di Lembaga Permasyarakatan Perempuan Tangerang sejak 13 Mei 2009. Prita dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Tangerang. Atas tuduhan pencemaran nama baik melalui surat elektronik (e-mail) yang tersebar luas di internet. E-mail itu berisi keluh kesah Prita atas layanan RS Omni.

Dalam keluhan yang ditulis lewat e-mail, Prita merasa dipaksa menjalani rawat inap saat memeriksakan kesehatannya pada awal Agustus 2008 di RS Omni. Kala itu dokter jaga mendiagnosis Prita terkena demam berdarah karena kadar trombositnya hanya 27 ribu. Ia juga mengaku sudah meminta hasil laboratorium, tapi ditolak rumah sakit.
Keesokan harinya, dokter rawat inap mendapati kadar trombosit Prita mencapai 181 ribu alias normal. Lima hari kemudian Prita memaksa minta pulang.
Sepanjang yang tercatat, inilah untuk kedua kalinya sebuah tulisan di Internet menyeret penulisnya ke meja hijau. Kasus pertama dialami Nurliswandi Piliang, seorang jurnalis, yang dituduh mencemarkan nama baik seorang anggota parlemen. Seperti Prita, ia dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Juru Bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Chryshnanda mengatakan, penyidik polisi hanya menjerat Prita dengan pasal pencemaran nama baik di KUHP. Munculnya Pasal 27 Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik setelah berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Banten.
Pengenaan Pasal 27 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada kasus Prita Mulyasari dianggap Departemen Komunikasi dan Informasi terlalu berlebihan. Jadi seharusnya aparat hukum tidak mengenakan Pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari. 
Sejak diundangkan pada tahun lalu, undang-undang itu telah mendapat kecaman dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Beberapa aturan, termasuk pasal 27 tentang pencemaran nama baik, berpotensi mengancam kebebasan berpendapat. Pasal ini dapat dikategorikan sebagai pasal karet, yang penerapannya bisa digunakan melindungi kekuasaan politik atau pemilik modal kuat.
Penegak hukum seharusnya lebih berhati-hati dalam menerapkan pasal kontroversial itu. Pihak rumah sakit jelas memiliki hak mengadu. Tapi bukankah mereka telah menggunakan haknya untuk menjelaskan hal itu di media yang sama? Bukankah pembaca milis tersebut telah mendapat informasi yang seimbang, baik dari Prita maupun pihak rumah sakit?
Sebagai konsumen, Prita jelas dalam posisi yang lemah. Inilah yang seharusnya dilindungi. Itu sebabnya, akan lebih adil jika kasus ini ditangani dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Aneh jika di negara demokratis ini orang yang sekadar menyuarakan keluhan dijebloskan ke penjara. Sebab, konstitusi jelas menjamin orang menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan.