Program Affiliate Indowebmaker Program Affiliate Indowebmaker

Selasa, 30 Juni 2009

WASPADA Online, 13 Aug 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Dunia luar mungkin tidak menganggap perlu untuk
berkunjung ke kawasan Darfur, Sudan bagian barat, yang
umumnya tandus dan terputus dari pandangan dunia.
Tetapi kenyataan itu tidak menghentikan komunitas
internasional untuk mengetahui tragedi apa yang sedang
terjadi di kawasan itu.

Tindakan yang awalnya dimaksudkan sebagai usaha untuk
mencegah aktivitas pemberontakan itu ternyata berubah
menjadi bencana kemanusiaan yang menyedihkan. Ketika
etnis Afrika yang tinggal di kawasan itu mulai
mengadakan aktivitas pemberontakan, melancarkan
berbagai serangan pada garnisun aparat kepolisian dan
bandar udara di daerah itu, mereka berhadapan dengan
pasukan bersenjata berkuda Arab nomad, yang dikenal
dengan Janjaweed, yang diperkirakan menjadi
kepanjangan tangan dari pemerintahan di Khartoum.
Akibatnya, warga sipil yang tinggal di sekitar daerah
itu terperangkap di tengah-tengah dua kekuatan yang
sedang bertempur.

Sebagaimana dilaporkan, berdasarkan foto udara
Amerika, terdapat 300 desa, dari 576 perkampungan yang
hancur total. Kisah tragis tentang pemerkosaan oleh
milisi yang menang dilaporkan oleh kalangan pengungsi
yang berhasil melarikan diri. Sekitar satu juta orang
dikabarkan terusir dari rumah mereka, 150.000 atau
lebih melarikan diri ke sepanjangperbatasan negara
Chad. Pemerintah Sudan mengatakan situasi yang terjadi
sudah dilebih-lebihkan oleh kalangan luar, dan menolak
tuduhan bahwa pemerintah mendukung milisi Janjaweed
atau bahwa sedang terjadi pembunuhan masal di kawasan
itu.

Tetapi Sekjen PBB, Kofi Annan, dan Menlu AS, Colin
Powell, yang mengunjungi perkemahan para pengungsi,
tampak tidak yakin. Keduanya memperingatkan Sudah
bahwa waktu sudah habis bagi pemerintah Sudan untuk
membalik situasi di Darfur atau kalau tidak, Sudan
akan menghadapi reaksi keras komunitas internasional,
yang dapat bermakna berbagai sangsi atau bahkan
mungkin tindakan militer. Pemerintah Sudan tampaknya
memahami betul ancaman itu. Menlu Sudan pun akhirnya
berjanji untuk bekerja sama.

Dalam suatu jumpa pers di Ethiopia (13/7), Usman Al
Said, duta besar Sudan untuk Uni Afrika (UA)
menyatakan, “Sudah tidak sepakat dengan resolusi Dewan
Keamanan (DK) PBB, tetapi kami akan mentaati resolusi
itu. Sebab, seandainya tidak, kami tahu musuh-musuh
kami tidak akan ragu untuk mengambil langkah melawan
negara kami.”

Dalam kesempatan yang sama, Al Said menambahkan,
“Sudan menerima keputusan DK PBB dalam soal Darfur,
karena ia anggota PBB dan tidak ada pilihan lain.
Sudah tidak akan menjadi Israel kedua, yang tidak
punya respek pada keputusan badan dunia.”

Pernyataan Al Said soal ketidakrespekan Israel
terhadap PBB itu sebenarnya juga menghinggapi pikiran
banyak orang di dunia. Namnun, yang menjadi pertanyaan
kita adalah mengapa Kofi Annan dan Colin Powell tidak
dapat menunjukkan ketegasan dan keberanian yang sama
dalam kasus tragedi kekejaman yang dilakukan oleh
Israel? Baru beberapa minggu yang lalu International
Court of Justice (ICJ) mengeluarkan keputusan yang
menyatakan bahwa “pagar keamanan” yang sedang dibangun
oleh Israel di kawasan Palestina yang diduduki, dengan
memotong perkotaan dan ladang warga Palestina, adalah
ilegal dan harus dirobohkan. Di PBB, sebuah resolusi
telah disepakati di Majelis Umum dengan 150 suara,
dengan hanya enam yang menentang dan 10 abstain,
meminta Israel agar mentaati keputusan ICJ tersebut.

Situasi di lapangan di kawasan Palestina yang diduduki
dan penderitaan yang dialami warga Palestina tidak
hanya bisa dilihat melalui foto udara atau melalui
kisah para pengungsi. Setiap hari, tentara Israel
menghancurkan rumah-rumah, ladang dan kebun
buah-buahan warga Palestina, dan membunuhi mereka.
Namun demikian, mereka tidak mampu sedikitpun untuk
mengajukan draft resolusi ke Dewan Keamanan PBB karena
pasti akan diveto oleh Amerika Serikat yang berarti
pekerjaan yang sia-sia.

Karena keputusan ICJ dan resolusi Majelis Umum PBB
sama-sama tidak mengikat, maka Israel bebas meneruskan
proyek pagar keamanan-nya, yang pada akhirnya, menurut
para analis, akan merubah kawasan Palestina menjadi
kota-kota yang terkepung musuh.

Rakyat di Darfur tampaknya dapat mencapai dalam 17
bulan apa yang tidak dapat dicapai oleh rakyat
Palestina dalam tiga dekade: dukungan bulat komunitas
internasional termasuk, yang terpenting, dukungan AS.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik
Agra University,India.

tulisan ini berasal dari www.fatihsyuhud.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar