Program Affiliate Indowebmaker Program Affiliate Indowebmaker

Selasa, 30 Juni 2009

WASPADA Online 16 Aug 04

Oleh A Fatih Syuhud *

Secara historik, istilah “fundamentalisme” diatribusikan pada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolut dan sempurna dalam arti literal
dan, dengan demikiran, mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar dan tak terampuni.

Dalam konteks ini, Kamus Oxford mendefinisikan fundamentalisme sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam
pandangan Kristen Protestan”. Julukan ini, walaupun dimaksudkan untuk menggarisbawahi ketaatan absolut kaum Protestan atas ajaran Injil, tidaklah dipakai
untuk melecehkan.
Konsep asal fundamentalisme itu sekarang menjadi
bagian masa lalu. Selama lebih dari dua setengah
dekade, interpretasi baru dari istilah ini menjadi
populer. Fundamentalisme menjadi sinonim dengan
ekstremisme dan radikalisme yang berakar dari
intoleransi agama. Persepsi ini jelas tidak tepat dan
menyesatkan karena fundamentalisme tidak dapat
disejajarkan dengan esktrimisme dan radikalisme. Yang
pertama bermakna ketaatan penuh pada ajaran-ajaran
dasar agama yang dilakukan oleh para penganut taat
suatu agama, sebaliknya makna kedua ditolak oleh
seluruh penganut agama yang benar.

Interpretasi fundamentalisme menjadi kontroversial
karena ia jarang dipakai secara imparsial, objektif
dan rasional. Aplikasi makna fundamentalisme esensinya
berdasarkan pada apa yang dipahami dan dinyatakan oleh
beberapa kelompok tingkat tinggi dari kalangan
politisi, akademisi dan media. Di tengah terjadinya
Islamofobia dan histeria antimuslim yang terjadi di
sejumlah negara Barat, khususnya di AS dan Israel,
saat ini istilah fundamentalisme digunakan secara
subjektif, selektif dan bias untuk melecehkan dan
menjatuhkan Islam dan menggambarkannya sebagai ancaman
pada peradaban Barat. Propaganda anti-Islam
“fundamentalis” dan “militan” semakin meningkat sejak
revolusi Iran pada 1979. Sejumlah pemimpin Barat dan
akademisi serta kelompok media berpengaruh dengan
penuh semangat berpartisipasi dalam usaha ini. Seperti
yang dikatakan Presiden AS Richard Nixon,
“Fundamentalisme Islam telah mengganti komunisme
sebagai instrumen pokok perubahan dengan cara
kekerasan.”

Nixon juga mengatakan, “Ideologi komunis menjanjikan
modernisasi cepat, sedangkan ideologi revolusi Islam
adalah reaksi atas modernisasi. Komunisme berjanji
untuk mempercepat putaran jam sejarah ke depan, sedang
Islam fundamentalis hendak membalik sejarah ke masa
lalu”. Implikasi implisit ucapan Nixon ini adalah
bahwa “fundamentalisme Islam” memiliki potensi sebagai
ancaman lebih besar daripada komunisme.Dalam buku
“Satanic Verses”, Salman Rushdie berpendapat bahwa
“Islam”-lah yang bertanggung jawab dalam
“mempromosikan kebencian pada peradaban modern”.
Samuel P Huntington, dalam “The Clash of
Civilisation”, mengingatkan dunia Barat atas berbagai
ancaman yang berasal dari Islam. Dalam “Todays New
Fascists”, Francis Fukuyama mengungkapkan
kekuatirannya atas bangkitnya “Islam-Fasis” baru.
Ungkapan Fukuyama ini merupakan kelanjutan dari
kekuatirannya atas munculnya “Islam radikal” yang
dibahas mendetail dalam bukunya “The End of History
and the Last Man”. Namun demikian, tidak ada yang
dapat menandingi V S Naipaul, pemenang Nobel, dalam
menyerang Islam. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata
sarkasmenya, seperti “Terlukanya peradaban India
merupakan hasil kerja Islam” (dalam bukunya A Wounded
Civilization), “Muslim non-Arab adalah pemeluk tidak
otentik..” (dalam Among the Believers), dan “Islam itu
menjijikkan” (dalam Beyond Belief)

Berbagai macam penghinaan terhadap Islam, baik dengan
kekerasan maupun nonkekerasan, mencapai proporsi yang
mengkhawatirkan pasca-serangan teroris pada gedung WTC
dan Pentagon pada 11 September 2001. Berbagai usaha
direkayasa untuk menghubungkan Islam dengan terorisme
telah menyulut ketegangan komunal di sejumlah negara
Barat, khususnya AS. Banyak yang dilecehkan dan
diperlakukan tidak manusiawi hanya karena memakai nama
Muslim dan memelihara jenggot dan jilbab. Di atas
semua itu, invasi pimpinan AS ke Afghanistan dan Irak
plus peningkatan serangan Israel pada rakyat Palestina
semakin mempersulit masalah dan semakin menjauhkan
diri dari skenario kerukunan global antaragama.

Banyak kalangan yang anti “fundamentalisme Islam” di
satu sisi mengklaim dirinya komitmen pada demokrasi.
Akan tetapi, pada waktu yang sama mereka tidak
segan-segan menyerukan untuk melakukan segala cara
dalam memberantas fenomena “Islam fundamentalis”,
termasuk dalam hal ini, dengan cara kekerasan yang
jelas-jelas tidak demokratik. Ann Coulter, umpamanya,
menyerukan: “Kita hendaknya menginvasi negara-negara
mereka (Muslim), membunuh pemimpin mereka dan
mengkonversi mereka dalam pelukan Kristiani”; Rich
Lowry menyerukan AS supaya “mengebom Mekkah”. Senada
dengan seruan kedua kolumnis konservatif AS ini,
berbagai tulisan Salman Rushdi yang menentang Islam,
Nabi Muhammad dan umat Islam dipandang sebagai bentuk
kebebasan berekspresi, tetapi berbagai kritikan pada
buku kontroversialnya “Satanic Verses” (Ayat-ayat
Setan) dianggap sebagai manifestasi dari fanatisisme.
Tidakkah wajar dan logis kalau kita anggap bahwa sikap
semacam itu sebagai contoh konkrit standar ganda dan
hipokrisi?

Harus diakui, kelompok radikal dan militan di antara
pemeluk Islam itu ada. Dalam tubuh agama lain juga
terdapat elemen-elemen ekstrim semacam itu. Akan
tetapi, secara faktual mereka, kalangan ekstrimis di
berbagai agama ini, adalah bagian kecil dari populasi
dunia dan secara bulat ditolak keberadaannya oleh
bangsa-bangsa pecinta damai dan penegak keadilan,
termasuk oleh negara-negara Islam. Seluruh
negara-negara dunia, dengan pengecualian Afghanistan
di bawah rezim Taliban, mengecam serangan teroris 11/9
di Amerika. Bahkan Abdullah Awad, kakak kandung Osamah
bin Laden, mengecam serangan itu sebagai “pelanggaran
mendasar pada prinsip-prinsip utama Islam.” Apalagi,
sejak itu seluruh negara Muslim meningkatkan usaha
mereka untuk memerangi dan mencegah terorisme. Dengan
adanya fakta-fakta tak terbantahkan ini, apakah
menghubungkan Islam dengan fundamentalisme dan
terorisme masih relevan?

Sayangnya, istilah fundamentalisme dan terorisme
secara eksklusif selalu diidentikkan dengan Islam
tanpa memandang realitas di lapangan. Apakah ini
berarti bahwa tidak ada individu atau kelompok dalam
agama Kristen, Yahudi, Hindu dan non-Muslim lain yang
lebih berhak menyandang “gelar” itu? Tidakkah
menghakimi Islam dengan hanya berdasarkan kebijakan
opresif Taliban di Afghanistan dan tindakan brutal Al
Qaidah itu bagaikan menghakimi Kristen dengan aksi
barbar Adolf Hitler di Jerman, Benito Mussolini di
Italia dan Slobodan Milosovic di Bosnia? Karena
tindakan ekstrimisme yang dilakukan Ariel Sharon tidak
membuat umat Yahudi disebut sebagai “fundamentalis
Zionis”, maka sudah logis kiranya kalau tindakan
radikal Mullah Umar dan Usamah bin Ladin tidak
menjadikan 1.3 milyar Muslim sebagai “Islam
fundamentalis”. Begitu juga, apabila jaringan radikal
Islam semacam Al Qaidah atau kelompok pemberontak di
Filipina seperti Abu Sayyaf disebut sebagai “teroris
Islam”, maka julukan yang sama hendaknya dilekatkan
pada tindakan terorisme yang dilakukan oleh Timothy
McVeigh di Amerika dan kultus Aum Shimrikoy di Jepang.

Di era sekarang di mana dunia dipenuhi dengan berbagai
problem dan konflik ini, sangat dibutuhkan adanya
berbagai usaha maksimum untuk mempromosikan perdamaian
dan keamanan. Namun demikian, hal ini akan tetap
menjadi mimpi sampai perpecahan agama dapat
dijembatani dan harmoni antaragama terbentuk.
Menyudutkan satu agama tidak akan membuat bertambahnya
prestise dan keamanan agama lain. Begitu juga,
fenomena patologis seperti fanatisisme, kebencian,
irasionalitas, ketakutan yang berakar dari
ketidakpedulian dan pikiran picik, hanya akan
memperlebar polarisasi agama.

Idealnya, isu sulit seperti ekstremisme dan terorisme
hendaknya didekati dengan pikiran terbuka dan tanpa
bias agama. Diperlukan juga memperhatikan akar
penyebab, bukan hanya gejala dari fenomena tersebut.
Karena, tidak ada negara atau sekelompok negara,
bagaimanapun kuatnya, dapat memerangi dan
menyelesaikan tantangan ini secara efektif sendirian.
Dengan demikian, tidak ada alternatif dalam mengatasi
hal ini kecuali dengan kerja sama global.

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
Agra University, India.

tulisan ini diambil dari www.fatihsyuhud.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar